Minggu, 08 Januari 2012

Si Penjual Terasi


Penjual pisang tengah berjejal penuh masak diantara gugusan pelepah pisang yang memadat. Aku marah diriku sendiri. Marah pada ketidak tahuanku akan tipu muslihat disetiap bidikan pelepah pisang. Mereka menyerap air tiada tersisa untuk yang lain, tetap hijau ditanah yang ia gembosi tiap harinya di zaman aku terlahir sebagai remaja.

Tiada mampu kuasa yang lain bertanya kenapa sebab musababnya dan apa yang akan ia berikan setelah ia mengambil. Tiada yang bisa menjawab. Dan seorang nenek yang berada di bawah pohon sono itu tersenyum seolah apa yang aku pertanyakan adalah sesuatu yang konyol. Ia tertawa tentang kami kaum mudah yang bertanya. Ia tahu rahasia kehidupan bijak namun licik dan ia tahu manusia macam apa yang ada di atas kami.

untuk perut mereka mencuri… untuk kekuasaan mereka berbohong.”

Aku hanya terdiam. Tak percaya dengan titah nenek tua penjual terasi itu. bagaimana mungkin ia tahu tentang kehidupan sementara ia tak pernah mampu menjulang masa tuanya dengan karier yang membanggakan. Apa hebatnya penjual terasi? Pekerjaan yang terakhir yang akan dipikirkan oleh seorang anak muda yang pandai namun putus asah karena ekonomi dan pupus karena dunia pendidikan tak pernah memihaknya.

Si anak hanya terdiam, ia acuh tak acuh dengan tetuah si nenek. Ia lalu dengan pongahnya meninggalkan si nenek karena bau terasi yang menyengat. Ia kalap dengan ketidak adilan pada takdir negeri ini yang selalu menolong yang mampu dan meniadakan yang tiada mampu. Sikap egois dan idelismenya akan kesempurnaan yang ia idamkan menyeruak. Yang ada di jiwanya hanya sikap keluh kesah dan kepupusan itu.

Si nenek malah tak ambil pusing. ia terdiam membiarkan aroma terasi menyeruak di lorong pasarnya. Tak jarang mengunjung menutup hidungnya dan mereka lalu mau menyantapnya dalam porsi-porsi sambal yang menggiurkan. Dia sudah lama menatap pembeli yang munafik itu. pembeli yang mengatakan tidak pada barang mentah dan mengatakan suka pada sesuatu yang telah matang dan siap di makan. itulah pribadi yang tertanam dari si bapak pada anak. Mana banyak bapak yang mengajarkan kerja keras pada anaknya, kini si bapak tengah sibuk menempuh jalur cepat namun menguntungkan walau dengan cara licik sekalipun.

Lalu seorang anak laki-laki sekolah menatapnya sebagai potret manusia yang gagal dalam kehidupan. Harusnya orang tua sekaliber dirinya sudah tak lagi berada di pasar dengan mengais lorong hanya untuk makan. harusnya ia sudah pension seperti omahnya.

omahku… adalah pensiunan pegawai negeri. Kalau kita rajin belajar maka kita akan sukses seperti dia. Dan jika kita rajin belajar maka kita bisa menikmati hari tuanya.”

Si nenek juga tersenyum seraya menghina ucapan anak sekolah itu. anak sekolah berseragam abu-abu itu hanya terdiam. Ia buru-buru menutup hidungnya mana kala aroma terasi terbawa angin menjamah hidungnya.

percuma kau belajar rajin jika kau tak didukung mereka. bagaimanapun uang akan mengubah jalanmu lebih mudah.”

kepandaianlah yang mengubah semua.” Jawab anak itu.

jika kau punya uang dari mamak…. Nini… atau dari keluargamu itu akan muda. Kau adalah binatang yang aku yakin tak akan mampu hidup bebas di rimbah kemiskinan.” Nenek itu bicara seolah ia tahu apa yang ia bicarakan.

Nenek sengaja mengatakan apa yang ia ketahui. Agar si anak-anak tak mengantungkan diri pada empuhnya. Mengatakan dengan sedikit kesadaran bahwa uang adalah jalan memuliakan tujuan, mempermuda jalan dan memuluskan lagkah.

buat apa beruang jika tak pintar?”

buat apa pintar jika tak beruang. Tahukah engkau berapa manusia lebih mumpuni hidup di lorong ini? dia lebih pandai darimu dan giat belajar darimu tapi dulu sebelum mereka sadar betapa tiada banyak dukungan pada mereka….”

apa?” anak itu mendekati penjual terasi itu. “ tahu apa nenek tentang sekolah? Jikalau nenek hanya mencari udang dan melumatkannya.”

disana.. anak memanggul itu adalah juara kelas. Ia tak bisa kuliah karena keterbatasan biaya… toh akhirnya ia kembali menjadi miskin.”

Nenek itu menunjuk kearah seorang anak laki-laki yang tengah menaruh sekarung beras di atas becak. Ia lalu kembali memasuki lorong lain di pasar yang lain.

lihatlah disana… bapaknya orang kaya dan dia tengah asyik menaiki mobil dinas meski jika kau Tanya sesuatu padanya kau tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan.”

Nenek itu menunjukan ke arah pegawai negeri yang tengah asyik menaiki mobil dinas dan berjalan ditengah lorong sempit tanpa ada rasa hormat sedikitpun. Mengacuhkan yang ada… dan inilah duniamu… negaramu dan bangsamu yang semakin….. rendah.

Si anak tak ambil pusing. ia yakin apa kata gurunya untuk mengantungkan cita-cita setinggi langit. Karena dengan cita-cita itu kita akan maju dan terus ingin berjalan untuk menggapainya atau mungkin berlari. Dan si nenek hanya terus berkata tentang realitas kehidupan tentang banyaknya mahluk cerdas nan terbuang. Tentang pupusnya keinginan untuk mengubah takdir dari selembar kertas yang disebut ijazah itu.

Dengan kertas yang ditempuh dengan uang itu semuanya akan mulus. Tapi ia kemudian memiliki satu pertanyaan bagaimana jika dia tak lebih pandai dari yang tiada memiliki? Jawabannya adalah kualitas…kualitas yang diwakili lembaran kertas itu. terwakilkan namun tak sepenuhnya mewakili.

lalu kenapa kau hanya menjadi pedagang terasi jika kau adalah orang pandai?”
karena negaramu tak memberikan banyak ruang bagi yang pintar namun negaramu memberikan banyak ruang bagi yang beruang.”

tapi ada orang miskin yang bisa sukses dengan kepandaiannya? Kata anak SMA itu sambil mendekati nenek tua itu untuk menatangnya.

berapa yang pandai dan sukses itu, hitung dengan jarimu..! badingkan dengan yang tak pintar namun beruang dan dengan praktek nepotisme negaramu itu yang bisa hidup dengan layak.”

Si anak SMA hanya meninggalkan nenek itu. ia berpikir bagaimana ia bsa percaya dengan nenek penjual terasi, ia akan lebih percaya dengan kalimat para mahluk berkera putih. Realitas terlalu kejam untuk dimengerti bersama.

Si nenek terus saja terdiam. Ia ingin mengajarkan pada mereka tentang realitas yang bertaut dengan mimpi yang menina bobokan remaja dengan angan mimpinya. Ia terdiam, berpikir apakah jika seandainya ia memiliki cucu maka cucunya akan seperti itu. seperti para rusa-rusa munggil yang berada di tempat yang tak sementinya.
Akankankah jika cucunya benar-benar hidup kini akan lupa akan adat muasal moral? Ah… syukurlah ia tak memiliki anak cucu. Si nenek meninggalkan pasar dengan berbekal karun goni yang berisi pisau dan sebongkah terasi yang berbau. Sepanjang jalan orang-orang menghindari bau itu. Mereka keburu merasa jijik dengan apa yang nenek itu bawa dari pada menolongnya. Mana ada yang tak tahu kalau nenek itu tengah kepayahan karena berkali-kali tertabrak dengan bahu-bahu yang lebih kekar darinya.

Dia terdiam. Nafasnya tersengkal dan buliran keringat mengucur di bahunya. Ia tengah bingung harus mengambil jalan pulang kemana. Pikunnya mulai tumbuh, mungkin lorong sana yang harus ia ambil, atau mungkin lorong yang lain yang ada disebelah sana atau mungkin lorong yang lain atau mungkin jalan lorong yang sedang ia titih adalah jalan keluar menuju jalanan yang tenang. Ia bingung dengan banyaknya suara yang datang. menghujat jalan hidupnya namun tak ada seorangpun yang bertanya apakah ia memilihki kesempatan untuk memilih yang lain.

Dia terdiam terpaku. Tubuhnya lemas dan berharap seseorang akan menopang tubuhnya yang rentah itu. namun ala… mak!!! tiada yang mau peduli dengan wanita tua yang bertubuh kurus kering dengan terasi yang ada di pundaknya.

inikah aku? Tiada berguna, benar apa yang dikatakan si anak-anak itu….. benar apa yang dipikirkan masyarakat. Namun apa hak mereka untuk menghakimi aku.”

Wanita itu tengah memandang dunia yang enggan ia titih kembali. Terlalu banyak hujatan dari pada pemberian yang melegahkan hati. Terlalu banyak cacian dari pada penghormatan, terlalu banyak omong dari pada tindakan, terlalu banyak suar-suar penindasan atas si miskin dari pada ringan tangan si kaya. Dunia macam apa ini? bukan tepatnya zaman apa kini?

Si nenek lalu memandang beberapa anak-anak SMP yang tengah merokok di atas sepeda motor. Ia menangis ibah, akankah harapannya terpangku oleh anak-anak yang bahkan tak mengerti akan belas kasihan, ibah dan juga penghormatan akan. Ia lalu menoleh pasa sekelompok gadis SMA yang berjalan menenteng tas belanjaan dan juga tas yang mungkin aku yakini isinya hanya segelintir buku bukan segepok ilmu. Gadis itu lebih tertarik membicarakan gerai-gerai baju baru dari pada rentetan rumus. Akankah ia titipkan rahim ibu negeri pada rahim yang ia yakini otaknya hanya otak ikan tongkol. Lalu si nenek tersenyum dan menengadah kembali,

ah… alangkah beruntungnya aku tak terlahir pada zaman yang buta akan mimpi….”

Dia lalu menoleh pada anak-anak muda. Bagaimana ia bisa bayangkan anak yang akan meraih gelar satunya akan mati esok karena over dosis. Dia hanya tersenyum, dan sedikit berkata? Inilah generasi muda negaramu yang entahlah. Bapaknya bejat anaknya juga lebih bejat. Sebagai penonton saja ia muak, ia jengkel namun apalah daya dari kejengkelan seseorang yang ditasbihkan tak memiliki hak berkomentar. Derajatnya adalah rendahan. Itulah yang terjadi. Dia perlahan terhenyak dengan sebuah suara halus dan uluran tangan yang lembut. Dia menurut saja. Ia berjalan.. nun..nun…nun… jauh dan hanya terfokus pada titik kiblat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar