Minggu, 08 Januari 2012

Kotaku…..Kotamu…..Kota Kita


Dua generasi yang berbeda masa dan tempat bertemu pada suatu kota dan terlahir di kota yang sama, mereka Upik dan juga orang yang tidak seberapa ia kenal tengah duduk dengan manis di tengah awan mimpi. Namannya Sigar bukan itu mungkin hanya julukannya karena badannya yang tak utuh lagi. Dia tinggal setengah nyawa, setengah badan dan setengah dari rasa ketidak puasannya akan apa yang tidak ia inginkan, tidak ia harapkan dan juga tidak ia impikan. Mungkin ini akan Nampak agak aneh, ketika ia harus bertatap muka dengan dunia yang namak indah hanya bagi beberapa orang.
Kemudian Sigar menanatap Upik yang tengah tersenyum manja ingin menapaki dunia yang indah. Upik tersipu hingga mukanya merah seumpama apel merah. Ah… alangkah manisnya dia. Mungkin berjuta anak negeri ini juga seperti itu. polos, lugu dan juga mahluk yang akan tertipu ketika dia beranjak dewasa dan merajut mimpi bersama dengan masa depan. Ah… alangkah malangnya.
Aku ingin bercerita tentang sebuah kota, kata Sigar kepada Upik. Kota di tengah kota yang hilang dan juga menjadi kota yang sungguh aku rindukan. Sebuah kota yang mungkin akan menjadi angan bagi seorang seperti aku. Dulu kotaku mungkin adalah kota yang aku lupakan. Aku tak sempat berkenalan dengannya. sebuah kota yang mungkin telah secara tak sengaja aku lupakan. Sebuah kota yang dulunya dengan mudah engkau temukan arti hidup dan juga kasih. kota yang ketika engkau berlayar menuju laut kau bisa temukan protein ikan, kota yang ketika kau lari ke atas bukit akan kau semai ladang milik mamak dan juga kota yang dimana kamu bisa memikul garam dari ladangnya dengan mudah. Bukan hanya itu saja…di kota ini kau akan temukan bukit-bukit kapur yang tinggi, sungai yang jernih dan juga masyarakat yang beriman.
Oh… gresik…. Alangkah berubah kau kini. Katanya dalam hati…. Hanya Tuhan, mahluk tak berwujud yang tahu apa yang ia katakan.
“ indah sekali kotamu?”
Sigar hanya mengangguk pelan dengan sedikit menitikan air mata. Ah…. Malangnya nasib kotaku. Yang diperkosa oleh para ketua yang dulunya merupakan tangan panjang rakyat dan juga agama. Ah…. Para mahluk itu….. apa kabarmu ??? mahluk yang berseru antara dosa dan juga pahala, yang selalu bertandang ke Masjid pertama kali dan mungkin juga mahluk yang menikahkan anaknya yang baru saja berusia 16 tahun dengan pria yang berusia 31 tahun. Mahluk yang berjubah dan bermandikan kekuasaan politik. Ah… dunia kemana kah orang yang benar-benar arif dan bijaksana ada.
Disana banyak sekali surau yang mengumandangkan panggilan adzan, tak peduli seberapapun kerasnya namun semakin tahun semakin banyak yang mangkir dari panggilan itu. mereka semua lebih banyak berjejar diantara barisan café atau warung kopi tengah asyik menengguk kopi dengan memandangi para peramu kopi yang tengah asyik memamerkan pinggulnya. Bukan rumah ataupun mushalah yang akan mereka tuju melainkan kesenangan sesaat, bukan sebuah tempat yang membungkus hati dengan cinta dan juga kasih. Ah…. Gresikku….. malangnya kamu. Tertinggal dan ditinggalkan mereka yang menghidupimu.
Berapa banyak tanah yang akan kau makan wahai pabrik. Cukupkanlah jenkal tanah milik mamak yang masih menghijau, sedikit sisahkan tanah untuk bapak menebar benih udang dan bandeng karena sudah terlanjur ku kenalkan pada dunia kalau gresikku terkenal dengan bandeng.
Cukuplah cukup wahai cukong pabrik, kau isap apa yang Gresik punya, kau keluarkan kabut hingga kami tak mampu lagi untuk melihat indahnya mentari yang menyapa kami di pagi hari dan tenggelam di sore hari, kami juga tak mampu menikmati kabut segar di pagi hari yang ada hanyalah kabut aminia’ yang bertebaran di pagi dan sore hari. bukan hanya itu saja aku tak mampu mengenali lagi lautku yang kaya. Sudah aku cari selama berbulan-bulan namun yang aku temukan adalah lautan yang jika minyak limbah itu lewat akan kau jumpai ikan dengan sendirinya mengapung. Ikan itu yang mungkin saja tersaji. Kotaku …. Kotaku mungkin kota yang di huni banyak yang berilmu, beriman, yang kaya namun kotaku adalah kota sampah yang mungkin banyak ditemui racun disana sini.
“ kotaku kau kemana yang dulu………. Bagaimana dengan kotamu kawan?” Tanya Sigar kepada Upik.
“aku ini orang ndeso mana aku tahu kota yang indah sekalipun aku melihatnya. Yang aku tahu adalah sebuah kota yang membuat aku kenyang.” Katanya sambil memamerkan perutnya yang buncit.
Lalu Upik menatap Sigar dan kembali berbicara, kau tau tidak. Kota yang aku miliki adalah sebuah kota yang memiliki berjuta lapangan usaha. Ya…banyak uang namun mungkin sama dengan kotamu yang mungkin kurang hijau. Tapi kota yang mungkin akan memberimu berpuluh-puluh lembaran uang ratusan, dalam dua minggu tanganmu akan mengenggam sejuta. Bayangkan….nominal itu tak akan kau dapati dengan membajak sawah dan menunggu panen tiba.
Dengan hanya berdiri dan mematung mengerjakan hal yang sama dan di akhir bulan, pekan atau mungkin harian kami bisa menikmati rupiahnya. Tak perlu pagi buta kami berangkat dengan menenteng cangkul dan nanakan nasi emak kami bahkan kini lebih mulia dan juga terhormat. Bekerja di pabrik adalah sesuatu yang mungkin paling terhormat dikampungku. Kami mendapatkan uang yang banyak dan tak terbayangkan. Rupiah…..rupiah…. rupiah untuk membangun rumah, menikahhi istriku dan juga untuk meminum toak
Upik lalu memajukan tubuhnya dan memamerkan baju yang ia kenakan, jam ber merk dan juga cincin emas yang bertahtakan batu akik yang ia peroleh dengan cara halal yakni menjadi buruh pabrik.
Sigar hanya tersenyum, ah….. dasar orang kaya baru. baru dibodohi, bodoh dan juga pada akhirnya terkalahkan dengan otot yang lebih kuat mereka kaum upik adalah kaum pekerja, kelas yang mungkin akan tergantikan dengan kelas pekerja yang lebih kuat selalu seperti itu, ibarat mesin selalu ada pembaruan. Masa ke masa akan tergantikan dan selamat datang kaum pekerja capital.
Sigar yang terdiam lalu menatap Upik yang tengah asyik memandangi jam mahalnya. “ kau tahu kata orang ini import.”
“ya….. apakah kotamu ad ataman yang menyediakan ruang untuk singgah?”
Upik hanya tersenyum bangga, di desaku banyak tapi di kotaku sangat jarang, namun tempat hiburan sekelas café lebih banyak. Kau bisa menikmati secangkir kopi ditambah dengan badan molek yang siap menggoyang badan saat kita menatapnya itu sudah taman surga bagiku. Tak penting tamanku hijau atau tidak, yang terpenting tamanku mampu menghilangkan penatku.
“ bagaimana udaranya dan airnya? Apakah bagus dan bersih, jika itu benar mungkin aku akan pindah?”
“tidak…. Jika aku punya banyak uang aku akan beli rumah mewah, motor dan mobil. Tak penting masalah itu, yang penting adalah bagaimana kita kaya dan bisa melakukan apapun.”
“udara kotor?” Tanya Sigar.
“ aku punya uang untuk beli masker dan bahkan jika aku sakit uangku cukup membeli bertabung-tabung oksigen.”
“lalu air…..”
“ada iar kemasan.” Jawab Upik dengan singkat.
“tak semua beruang di kotamu, pekerja… ada anak-anak yang masa depanya panjang, ada orang tua yang butuh kesehatan, ada ibu hamil yang butuh nutrisi dan uadara yang sehat, ada mamak yang menanam sayuran dengan susah payah dan dengan jahatnya polusi itu menempel di daun yang akan ia sajikan untuk kamu dan adik-adikmu.”
“itulah gunanya uang….kau tak perlu menderita jika kau punya uang.”
“kau akan merasa apa yang aku rasakan suatu hari kelak. Kerinduan akan hijaunya kota.”
Sigar….. menatap Upik dengan senyum yang terulas di matanya. Uang….harta….. dan apapun yang membuat dirinya kaya itulah yang penting. Tak masalah ia sakit dan menderita atau apapun, budaya capital memanglah seperti ini. hijau atau biru kota tak akan pernah berkesan apapun dimatanya.
“lalu dimana kotamu?”
“Gresik…..” kata UPik, “lalu dimana kotamu, pak Tua?”
Sigar hanya tersenyum mendengar kota Gresik disebut. Kota yang sama dengan dua pandangan yang berbeda.
“Gresik, kotaku….kotamu…..kota kita….. berubah.”
Upik tercengang melihatnya, ia membayangkan dan mulai kembali memintal cerita Sigar yang lalu. takut….. kaget dan tak percaya bercampur jadi satu. Ternyata Gresik.


Gresik, 04 Januari 2011

Untuk saudaraku di Gresik, selamatkan kota kta dari polusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar