Minggu, 08 Januari 2012

Aku yang Lalu, Dia yang Sekarang dan Kamu.


“ Aku menunggu kamu disini? ” kata saya dalam hati untuk kesekian kalinya.
Saya terdiam dan menunggu di sebuah bangku di suatu sisi Kota yang laut ia jadikan petunjuk jalan keluar. Kali ini untuk kesekian kalinya di tiap tahun saya menunggu. Menunggu sang kekasih atau siapapun itu namanya yang menancapkan busur-busur cinta dihati saya. Saya terluka namun candu asmara menyembuhkan saya dengan kelembutan dan lambungan itu. terasa luka itu menghilang dan datang, mengoyak pasir yang membatasi pulau hati yang saya bangun dengan butiran pasir. Dengan mudahnya, ombak asmara itu datang dan pergi, membuyarkan bangunan itu dan mengkokohkannya disuatu masa. Aku terima itu demi cintaku pada kamu dan demi janji kamu yang terus mengukir kuat di dada saya.
Bak mantra, syahadat dan basmalah yang sering saya lantunkan. Kalimat janji kamu terdengar. Sama seperti sekarang. Ketika banyak manusia yang berlalu lalang di dekatku. Tapi saya yakin dengan janji kamu. Saya yakin kamu akan datang entah di purnama keberapa. Ketika dunia menghujat, karena saya melewatkan banyak purnama karena kamu tapi aku tetap bangga. Bangga karena masih memiliki keyakinan akan cinta yang saya yakini akan ada akhirnya. Penantian saya pada kamu, entah kamu dimana namun saya yakin Tuhan akan mempertemukan kamu padaku.
Matahari berjalan, dia lagi-lagi tak ramah pada saya. Saya tersenyum dibuatnya karena saya sudah biasa. terbiasa dengan kesinisannya, dengan serangannya pada kulitku. Saya tahu ia hanya iri. Aku kemudian terdiam lagi. Aku bersiul ringan, membunuh masa yang terus berjalan menghujatku. Tapi kadang saya kalah karena mereka datang silih berganti dan membuat hati saya gundah. Saya bahagia? Mungkinkah itu. saya juga bertanya akan hal itu. namun ketika saya teringat janji kamu. Tiba-tiba ombak kegundahan itu menghilang. Saya yakin bahagia itu ada. mungkin bahagia itu tersembunyi diantara keyakinanku akan kedatangan kamu.
Kamu bilang bersabarlah. Ketika yang muda berkata kalau saya kuno, tahayul dan omong kosong. Kamu bilang roda akan terus berputar. Ketika satu masa mengangungkanmu, ketika satu masa menghujatmu dan ketika satu masa meninggalkanmu. Karena jika tanpa perputaran itu zaman akan terhenti.
“aku menyerah.” Kata saya pada diri saya.
Lalu rangkulan lembut beberapa dzat yang teraniaya dan yang terhardik nuraninya merangkulku dengan pelan. Ia berbisik……..
“jika tanpa apa yang kamu miliki kami kehilangan. Kehilangan tanah nenek moyang, kehilangan baju rajutan yang indah, bumi kehilangan aroma dingin itu. aroma yang mampu memberikan nafas bagi jagat raya.”
“aku bisa apa?” tanyaku kembali dengan segurat keputus asahan.
Mereka tersenyum sambil berbisik,
“sabarlah…demi tanah Lampung…!!!” selalu itu yang mereka katakan.
Dan seperti biasa saya mengingat kamu. Mengingat masa dimana kamu memanjakan saya. Mengingat bagaimana kamu mempercayai setiap jengkal diri saya. Memperhatikan setiap kata-kata yang saya katakan. Seolah saya adalah kearifan yang mengatur keseimbanngan. Ya…. Itu saya. Saya yang begitu kamu agungkan. Saya yang merupakan berbaris-baris kalimat yang mengatur keseimbangan. Ah…… betapa indahnya masa itu. antara saya dan kamu.
Kita mengalami sebuah kulminasi akan cita dan cinta. kamu merangkulku begitu dekat seolah tiada yang mampu memisahkan kita. Kamu bilang di sebuah masa kalau aku adalah… entah apa itu. kamu berbisik menyakinkan aku,
“kamu malaekat aku dan pegangan yang membawaku kesebuah kearifan local.”
Aku terhibur. Dan sebulir air mata siap menetes kembali. Aku usap kali ini. karena aku tahu bahwa apa yang aku lakukan adalah kesalahan. Perasaan adalah pengelana waktu dan mencintai kamu adalah babak terhebat dalam kehidupanku dan kusadari itu.
Lalu aku teringat kalimat kamu lagi,
“kamu adalah ibu yang memberi petunjuk. Suatu saat nanti aku akan datang padamu dengan tangisku akan kerinduanmu.”
Aku pegang janjimu. Aku seonggok dzat yang tak terwujud dan bermasa menunggumu wahai kekasihku. Karena hanya engkau yang mampu menjalankan aku. Kaulah yang punya kuasa atas diriku. Siapa aku? Aku adalah saya yang tak bisa melakukan apapun jika tanpa kamu. Mungkinkah engkau telah tiada? Dan kini hanya anak cucumu yang merawat bumi tanah Lampung yang telah hilang keindahannya. Terkoyak dengan mereka, kaummu yang mengadaikannya pada apa yang mereka sebut zaman globalisasi. Menjadikan permata hijau menjadi permata yang merah darah dengan aroma arang, menjadikan yang bening menjadih keruh bercampur darah dan menjadikan yang memiliki rumah tergusur di jalan-jalan lalu mati. Mati tercekik dengan jenjang jurang yang punya dan tidak.
Aku menghela nafas panjang melihat tentang ini. tentang mereka yang bersua menikmati emas dan keong-keong intan. Lalu aku terdiam, melihat bagaimana bumi hijau terampok dan tiada yang mampu melawannya. Kamu ada dimana kekasihku? Apakah kamu telah tiada? Apakah kamu juga berubah layaknya mereka?
“ Pulanglah ke tanah Lampung !!!” teriakkku…….
Laut bergelombang….. dia acuhkan salamku padamu.
“tak rindukah kamu pada kami? pada laut yang mengantarkanmu pada tanah pembebasan, pada hijaunya tanah hijau, pada beningnya embun yang menyejukkan dan pada ikatan rapat senyuman kamummu itu……. aku merindukannya sama rindunya dengan kamu.”
“pulanglah !” rintihku dengan membiarkan sebulir air mata menetes.
“tak usah kamu……… tangisi. Dia akan pulang dengan merangkulmu karena telah lama meninggalkanmu. Dia berubah mengikuti arus. Mencintai yang muda dengan kemudahan. Tabahkanlah hatimu… kamu adalah orang baik, ibu bagi yang lalu dan juga ibu bagi kami. kamu tidaklah kuno. Kamu adalah implementasi dari kami. jiwa Lampung local yang tahu akan isi jiwa kami. yang mengangungkan kami…… bertahanlah. Bersabarlah..!!”
Seorang wanita muda seusiaku tengah duduk tanpa permisi di dekatku. Gaun kuning marunnya membuat mataku silau. Aku iri dengan senyuman manis itu. aku iri dengan apa yang ia miliki itu. rasanya aku ingin menyobek mulutnya itu, tapi saat aku melihat bibir seksinya, aku ikut tersenyum. Ia menatapku dan kami saling menatap satu sama lain.
“anda cantik sekali.” Katanya dengan tiba-tiba. Kalimat yang sama yang kamu ucapkan pertama kali saat kita berjumpah.
“anda juga.” Kataku sambil tersenyum.
Lalu kami untuk sejenak tak saling memandang. Kami menatap muka jalanan dan mererawang jauh. Apa yang mungkin akan kami lakukan dimasa yang akan datang. ia memainkan jari-jarinya dan gerak tubuhnya mulai tak beraturan. Ia resah dengan apa yang ia lakukan, bosan dan aku tahu kalau ia ingin memaki-maki. Tapi ia tahan itu karena ia tahu harga dirinya akan jatuh jika ia lakukan itu.
“apa yang kau lakukan?” tanyanya.
“menunggu.” Jawabku dengan enteng.
“siapa?” tanyanya dengan enteng.
“entahlah…. Dia yang mempercayai aku, melakukan semua petuahku dan dia mencintaiku.”
“tidak.” Katanya dengan tiba-tiba.
“jika ia mencintaimu kamu sebagai petuah maka ia tak akan meninggalkanmu.”
Aku menoleh padanya. ia tersenyum, mengusir ketidak nyamananku. Lalu aku tersenyum menanggapinya. Anak muda yang tahu apa. Aku berada di kursi jalanan ini hampir seusia dua kali dirinya. Aku telah memakan asam garam penantian. Aku telah menatap setiap tingkah laku gadis-gadis import yang menyesatkan. Yang melingkari kamu, kekasihku. Tau apa gadis ini?
“aku tahu kamu sedang menunggu.”
“ya… aku memang menunggu.”
“kamu terlalu lemah sebagai seorang petuah. Kamu lupa untuk bertahan bukan meminta seseorang mempertahankan kamu.”
“apa ?” aku semakin terbengong.
“aku belajar dari kamu untuk bertahan. Belajar untuk tidak disisihkan dan belajar untuk menjadi abu-abu. Bukan hitam atau putih layaknya kamu.” Dia mengacungkan tangannya. Menatapku yang rentah ini dan tersenyum dengan manis.
Aku bersedih. Ku buang tatapan mukanya itu lalu aku berasandar pada yang mati. Dia tersenyum dan menjamah tanganku yang keriput.
“aku yang sekarang dan kamu yang lalu.”
Dia tersenyum dan melepaskan tanganku. Aku menghela nafas yang panjang dan rasa perih itu mulai Nampak. Perih rasanya ketika aku tahu kalau aku telah tua dan karena kondisiku, kamu meninggalkanku.
Lalu kami terdiam dengan sejenak dan dia tersenyum manis. Ya… ia beruntung karena Tuhan menyisipkan senyuman itu di bibirnya.
“kekasihmu memautkan dirinya pada kami. yang mudah… yang asing… yang memberikan janji kemudahan… yang menyuguhkan materi…. Yang pandai menyesatkan pandangan…. Yang mengelapkan mata….. yang tak memberi ruang pada mereka untuk tak memikirkan tentang materi…… kami jahat. Namun kekasihmu lebih jahat karena mengadaikan tanah Lampung pada jalanan yang semu.”
Aku gemetaran. Takut…. Karena jika kekasihku benar-benar melakukannya rusaklah semuanya. Aku gemetar dan anak gadis itu tersenyum. Ia menciumku dengan manja. Bibirnya yang dingin membuatku ingin bertanya siapa kah dia? Roh…. Peri… malaekat ataukah ia yang lainnya. aku merasa kami adalah sama. mungkinkah itu? tidak. Ia bilang kalau kami berbeda. Ia abu-abu dan aku putih. Ia masa kini dan aku masa lalu. bagaimana kami bisa sama.
Ia tersenyum lalu menyandarkan bahunya pada bahuku yang rentah. Ia kembangkan sayapnya yang lembut membuatku hampir terjatuh tersungkur. Ia lalu mengajakku menerobos waktu. Ia merentangkan sayapnya dan membuatku semakin menangis. Tanahku….. tanah Lampungku tak lagi ku kenal. Banyak ruang yang kosong yang terbentang dengan mayat-mayat tulang-tulanng tuan Hijau. Lalu aku terdiam. Melihat anak cucu kekasihku yang mengangungkanku dulu. Tertawa riang dengan semenah-menah mengusir mahluk yang berpunya atas tuan Hijau. Mereka tak memberi tempat pada mahluk itu. haknya dirampas dan dengan hati yang berat mereka menatapku. Seolah meminta pertolongan padaku. kukatakan pada mereka,
“aku tak mampu melakukan apapun. Kekasihku yang ku tunggu telah tiada. Yang ada hanyalah anak cicit yang tak mengenalku, aku putih dan mereka bilang aku kuno. Bisa apa aku? Aku hanya sebuah nyawa, kalimat dan petuah tanpa wujud.”
Mereka lalu menatap tanah. Pasrah pada kelakukan anak cicit kekasihku. Ember yang dulunya berisi kebeningan dan keheningan. Kini tergenang dengan keruhnya darah dan tangis mahluk yang tiada punya kuasa atas tempat tinggalnya, atas nyawanya dan atas kehidupan yang ia miliki.
Lalu mahluk wanita abu-abu itu mengajakku terbang. Menembus ruang dan masa. Dan ia perlihatkan kembali. Cicit-cicit kekasihku, yang bergaul dengan anak luciver. Mereka tidaklah putih atau abu-abu. Sesuatu menyeretnya bukan pada kodratnya. Pada kesesatan yang dengan mudahnya merenggut jiwa, pada eforia sesat dan pada yang hitam. Memuja setan jalanan bukan kaum berbudi.
Aku menangis. Tahu manakala mereka yang muda berjalan ke sebuah jalan yang salah.
“ini masa tanpa batasan…..” katanya pada sesamanya.
“bukan ini yang aku ajarkan…. Bukan ini yang kami inginkan. Kami ingin manusia mengenal satu sama lain. Terbuka, bertukar cerita satu sama lain dan…. Jangan salahkan aku atas semuanya.”
“ya… ini salahmu.” Kataku ketus.
“maaf jika itu benar.”
Dia berpaling dan menaruhku pada posisiku kembali. Ia terdiam dan aku merasakan penyesalan itu.
“ajari kami yang sekarang tentang yang lalu. yang kami pandang adalah yang akan datang. kami tak pernah melihatku sebagai petuah yang lebih tua dari kami. itu memang kesalahan kami. maaf…..”
Aku terdiam. Mugkinkah kami bisa mengubah tanah Lampung yang terkontaminasi menjadi Tanah Lampung yang hijau dan bermartabat lebih. Tanah Lampung yang ramah dan Tanah Lampung yang tanpa asap. Aku merindukan masa itu. ingin rasanya aku lepaskan anak … cicit kekasihku itu. tapi mungkinkah itu?
Lalu tangan yang muda dan sekarang tersenyum. Seolah ia menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar harapan baru. harapan baru untuk bumi Lampung.
“Kita selamatkan bersama.”
Aku tersenyum dan kami tersenyum bersama. menatap tanah yang akan kami tekatkan menjadi impian bersama. antara aku yang lalu dan dia yang sekarang, akan mengantarkan kamu menjadi manusia yang bermartabat, bijaksana, arif karena kamulah Khalifah yang akan membimbing banyak mahluk dan menjadi pemimpin ditanah Lampung.
Marilah yang muda….. yang tua ….. bergandeng tangan menyelamatkan penggalan tanah Surga yang kita injak. Tanah Lampung yang menjadi rumah bagi mahluk hutan, rumah bagi pekerbunan, rumah bagi industri, rumah bagi serangkaian keramahan yang menyapa mana kala kita mengetuk pintu bumi Lampung. Bersama-sama menjali masa sekarang dengan belajar dari masa lalu dan menapaki harapan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Marilah…. Kita bersama….
Membangun, memelihara dan menjaga Tanah Lampung.
Aku, kamu dan dia bersama-sama….. selamatkan Lampung.
Ku tunggu kamu…


Bandar Lampung, 3 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar