“Apakah engkau bangga pada negerimu? Ataukan kamu malu pada negeriu? ”
Mungkin dirinya adalah orang yang keseribu yang bertanya padaku tentang arti kebanggaan dan rasa malu.
Diamanapun di tempat ini….. di Negara kecil ini mereka bertanya demikian padaku. setengah ingin tahu dan setengah lagi dengan tampang meledek. Bukan hanya dosen, kawan, sahabat atau mereka yang numpang lewat.
Mungkin dan mungkin dia patut bangga pada negerinya. Dengan kebanggan yang mereka terjemahkan sendiri. Bagiku kata kebanggaan relative. Boleh jadi aku hanya terlalu sensitive.
Bagi mereka yang aku kenal disini, hiasan kota yang mewah di jalanan yang aku pandangi kali ini, menyakini bahwa mereka bangga. Bagi mereka kota yang aku jejaki adalah kota penuh semangat kebanggaan. Entah bangga pada bagian yang mana dan karena apa. Tapi aku iri.
Hari ini di alun-alun ini dan hari yang lalu atau mungkin hari yang akan datang aku menatap mereka. mereka ada disini, tinggal dan menjalani hidup. Mereka datang dari negeriku ke negeri ini. jauh dan juga biru. Walau disini tercukupi namun aku tahu, sebenarnya di palung hati yang terdalam sebenarnya mereka rindu akan ibu pertiwi. Tanah air bagi mereka adalah masa lalu yang terukir kuat dan mengakar di hati mereka. tapi kami dan juga mereka tak terjanjikan atas keadilan dan juga hak kami. kami kecewa atas itu….
Diantara mereka mungkin sama seperti aku yang merindukan lingkaran kuning menghangatkan sepanjang tahun tanah ibu kita atau mungkin mereka merindukan kesemerawutan kota-kta di bumi pertiwi dengan debu dan polusinya yang lengkap dengan bisingnya klakson dan makian sopir yang geram di rimbah jalanan tanah air. Aku bangga pada mereka dan aku paling geram ketika kami berada di dalam kendaraan umum yang berjejal dengan panasnya selubung bumi dan terdiam hanya karena jalanan di tutup beberapa jam karena ada pejabat yang numpang lewat. Semua penumpang mikrolet melongok ingin tahu siapa yang lewat hanya sekadar ingin tahu siapa yang membawa kabur hak-hak kami.
Malukah aku pada bangsaku? Mungkin aku malu. Mana kala ku lihat beribu-ribu anak jalanan yang harusnya dipelihara Negara terlantar dan tergadaikan dengan keping-keping rupiah. Itu tak seberapa, disana ditempat itu terlihat atau tidak terlihat nyawa mereka tergadaikan, tiada kasih sayang dan mereka yang berdasi terbutakan. Kebodohan yang berdasi membuat aku malu karena bangsaku bobrok akan moral dan nilai. Mungkin adalah kita dan juga mereka berperan dalam hal itu. tapi mereka kaum berdasi, gendut yang kaya kecuali di hadapan Tuhan. Yang miskin manakala….. tanpa merampok dan bermuka dua. Yang berdusta manakala berbicara dengan rakyat yang bagi mereka bodoh dan layak untuk dibodohi.
Hormatkah kami …. Atau mungkin kami takut?
Aku tersenyum pada tulip yang baru saja mekar pagi ini. merah… dan juga kuning menghiasa taman laun-alun kota. Apakah disini juga ada ketakutan akan diperkarakan karena kami tak takut atau hormat pada mereka? atau mungkin kami harus pura-pura takut hanya karena etos susila pada lingkungan social yang kecil harus hormat pada yang besar… bukan bukan… bukan yang benar pada sosialita kita adalah miskin harus hormat pada yang kaya atau mungkin kaya dan yang jelatah patuh pada yang berkuasa. Atau lebih tepatnya itu hanya omong kosong. Lebih tepatnya kami takut … takut akan sangsi hokum. Hukum alam…. Hukum Negara…. Hukumm Tuhan. Dan anehnya para penguasa justru bangga saat rakyat takut pada mereka karena alasan hukum. Bukan malah….. takut karena kebijaksanaan mereka.
Lalu apa yang aku bisa tatap dari negeriku jika aku melihat mereka. sedang kami para penerus generasi yang disini dengan uang beasiswa yang pas-pasan harus hidup dengan tuntutan dan ajuran dari sang sang leluhur yang bijak untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Lalu mereka…. bedebah-bedebah berdasi yang entah siapa itu. makan…tidur….makan… tidur terus dengan uang sebaai bantal dan kasur. Tidur dari kenyataan yang merajalalela. Makan dari yang bukan hak nya dan jalan-jalan dari apa yang lebih dijadikan alasan. Studi banding sana sini padahal merancang undang-undang saja lama….lama banget.
Apa yang harus aku banggakan ? Tiada dan juga kosong. Aku bahkan … ingat kini tentang kebohongan yang mutlak. Guruku mengajarkan aku tentang kebohongan bagiku. Mereka mengajarkan kenyataan yang setengah-setengah agar kami ya….. setidaknya pernah bangga pada negeri kita. Saat aku kecil guru-guruku pernah bilang kalau negaraku adalah Negara yang kaya. Dan kini aku tahu kalau kita kaya penduduk, kaya kebohongan, kaya cukong-cukong pengadilan, kaya korupsi. Dosen Indonesiaku bilang kita berpotensi kaya namun miskin.
Ini baru bener……
Dulu aku tersenyum mana kala Ismed temanku yang pernah berbicara padaku. tentang arti kebanggaan. Aku tahu kini, aku mungkin ibarat kucing yang mengais kehidupan dari reruntuhan kebanggaan tentang dulu… dulu… dan dulu. Mana kala mereka para pejuang berjuang untuk sebuah kebasan. Jika mereka tahu akhir bangsa kami akan terjajah oleh kami mungkinkah mereka berjuang? Yang mereka tahu hanya satu, mereka akan berjuang agar yang tertindas bisa bernafas. Aku bangga akan itu.
Tapi ketika ku ceritakan kebanggaanku pada mereka. jenisku dan seusiaku yang seanak rusa. Aku cukup malu ketika aku terlahir bersama mereka. mereka anak-anak rusa yang mengauli anak-anak macan. Mereka tak sadar kalau anak-anak macan akan menerkam mereka kapan saja. Macan-macan itu menjelma menjadi sesuatu yang menyenangkan di rimba perkotaan. Sadarkah mereka tak sadar kalau rimba perkotaan akan membunuh mereka. aku dan juga mereka mungkinkah telah tercabut dari akar-akar tradisi, di saat mereka menafsirkan nilai-nilai lama secara rasional. Sementara kebebasan dan kebudayaan ruang dan masa membuat kita dan juga mereka terjebak dalam identitas yang kosong, hambar dan juga tidak jelas akan siapa kami.
Apa yang harus ku banggakan? Aku justru malu.
Kami mencari kami dalam kegelapan. Kami ingin berlari dan terus bertanya akan kebangaan pada tanah air kita. Dan kami berlari aku sadar. Diantara puing-puing yang rusak itu. ada kebanggaan yang harusnya kami lihat. Mereka tak tampak namun nyata, mereka ada disekeliling kita yang berjiwa besar namun tak butuh dihormati dan dihagai, ada air, udara, hutan dan apapun itu yang pertiwi berikan untuk kami. ada nama-nama pejuang yang mati untuk kami. ada selusin makna kebaikan dijalanan yang tak terlihat namun nyata. Ada mereka yang berjuang tanpa kepentingan golongan, berjalan sendiri hanya untuk memperjuangkan arti kesejahteraan.
Aku bangga dengan matahari ekoador…. Yang bersinar sepanjang kami hidup di tanah pertiwi. Sepanjang kami mau belajar dan berjuang untuk sebuah arti kebanggaan.
Tapi aku tetap bingung jika aku bercermin pada aku yang lain yang lupa pada siapa kita. Dan ketika aku Tanya pada mereka apakah mereka malu pada negeri ini? mereka tak menjawab karena bingung. Aku tahu jawabannya mungkin iya dan tidak. Dan bagaimana dengan ada?
Den Haag, 1 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar